Juni 09, 2009

Kisah Shannon

Rabu pagi, 29 Agustus 1984.
Saya mencium pipi ibu saya sebelum berpisah, melemparkan buku dan peralatan saya ke kursi belakang mobil saya, dan tidak berapa lama kemudian saya sudah berada di jalan raya. Sesudah mengendarai mobil beberapa mil jauhnya menuju perbatasan negara bagian, saya mengambil lipstick dan berdandan sebentar melalui cermin di mobil. Tiba-tiba, sekilas saya melihat sesuatu bergerak, dan saya merasakan hentakan pada mobil saya. Mungkin itu seekor binatang yang menyeberang, pikir saya. Tetapi perasaan saya menyatakan sesuatu yang lebih buruk.

Saya keluar dari mobil dan berlari ke belakang untuk melihat apa yang baru saja saya tabrak. Oh Tuhan! Di sana terbaring tubuh seorang wanita berambut ikal, tertelungkup di rumput, darah berceceran di sana-sini. Di dekatnya saya melihat sepedanya yang sudah tak berbentuk.

Saya mulai gemetaran. Saya ingin membalikkan badannya agar saya dapat memastikan keadaannya, tetapi segera saya memutuskan untuk menelepon ambulan.. Saya menelepon ke dua tempat, yang pertama: 911, kemudian ibu saya. "Ikuti saja jalan raya itu sampai Ibu melihat mobilku," kata saya, tanpa dapat mengatakan hal yang lainnya.
Empat puluh lima menit kemudian, ambulan datang. "Kita harus menelepon mobil jenazah," kata dokter dengan raut muka sedih. "Nyawanya tidak dapat tertolong lagi. Kami tidak bisa melakukan apa-apa lagi."

Dengan pikiran yang semakin kacau balau, saya meninggalkan tempat kecelakaan itu, saya bahkan tidak tahu siapa nama perempuan itu yang baru saja saya tabrak. Tetapi beberapa jam kemudian, saya ditelepon oleh seorang pria. Ia memperkenalkan dirinya, Jerry Speight. "Saya adalah tetangga Marjorie Jarstfer. Ketika saya mendengar kabar ini, bersama pendeta saya, saya segera memberitahu Gary, suami Marjorie." Hati saya semakin kalut. Keluarga Marjorie kini telah tahu apa yang terjadi. Mungkin mereka akan menyumpahi saya untuk mati juga. Bahkan, saat itu saya sempat berpikir untuk bunuh diri.

Tetapi Jerry melanjutkan, "Saya ingin kamu tahu apa yang pertama-tama dikatakan oleh Gary, 'Bagaimana keadaan gadis itu? Apakah ia terluka juga? Apakah itu kesalahannya atau bukan?'"
Saya tidak dapat memercayai apa yang baru saja saya dengar. Bagaimana mungkin respon pertamanya adalah hal-hal positif yang ditujukan kepada saya, orang yang bertanggung jawab atas kecelakaan ini?

"Gary ingin supaya kamu datang ke rumahnya besok sore," kata Jerry. "Ia ingin bertemu dengan keluargamu." Bagaimana saya dapat menolak? Tetapi saya takut sekali membayangkan pertemuan tersebut.

Sementara saya melangkah ke pintu rumah Gary keesokan harinya, saya merasa seolah-olah saya sedang menghadapi satu regu penembak. Namun di saat berikutnya, saya hanya bisa terpana. Seorang pria paruh baya berbadan tegap, menghampiri saya, dengan tangan terentang lebar.

Tidak ada sedikitpun kebencian terpancar dari matanya. Saya mulai menangis, dan Gary merangkul saya, air mata saya membasahi bajunya. "Maafkan saya!" hanya kata-kata itu yang terus saya ulangi.
Gary menuntun saya ke ruang tamu, dan mempersilakan saya duduk di dekat jendela. Saya tidak bisa berhenti menangis. "Shannon," katanya dengan lembut, "Aku ingin menceritakan kepadamu tentang Marjorie. Kami berdua telah bertahun-tahun melayani sebagai penerjemah Alkitab untuk Wycliffe. Marjorie sangat mengasihi Allah, bahkan tidak ada batasnya. Ia bergaul akrab dengan Tuhan. Belum lama ini ia bercerita kepadaku bahwa ia merasa Tuhan ingin memanggilnya pulang segera. Dan di gereja pun, ia bersaksi bahwa ia siap meninggalkan dunia ini dan pergi menghadap Tuhan kapan saja."
Bagaimana mungkin seorang manusia begitu dekatnya dengan Allah sehingga ia tahu kapan waktunya di bumi berakhir? Saya sungguh heran.

"Shannon, kecelakaan ini mungkin saja mengejutkan kita semua, tetapi sama sekali tidak mengejutkan Tuhan. Dia siap menyambut Marjorie, untuk bergabung di surga.." Bahkan sesuatu yang lebih mengejutkan dikatakan Gary kepada saya.. Gary mengatakan, ia percaya bahwa Allah memilih saya untuk mengambil bagian dari halaman terakhir kehidupan Marjorie di bumi ini. "Tuhan memilihmu karena Dia tahu engkau cukup kuat menghadapi hal ini. Aku ingin menyerahkan warisan Marjorie yaitu sebagai wanita Allah kepadamu. Aku ingin engkau mengasihi Yesus tanpa batas, sama seperti yang dilakukan Marjorie. Aku ingin engkau mengizinkan Tuhan untuk memakaimu bagi kemuliaan-Nya, Shannon."

Di usia saya yang baru 16 tahun, saya tidak dapat membayangkan apa artinya kata-kata itu. Namun selama 23 tahun saya merenungkan hal itu dan berusaha mewujudkannya. Sebagai penulis, pembicara dan konselor rohani, saya berusaha meraih jubah Marjorie, yaitu sebagai wanita yang mengasihi Yesus tanpa batas.
Shannon Ethridge