Juni 09, 2009

Ceritakan pada Dunia Untukku

Oleh: John Powell, S.J.

Sekitar 14 tahun yang lalu, aku berdiri menyaksikan para mahasiswaku
berbaris memasuki kelas untuk mengikuti kuliah pertama tentang teologi iman.

Pada hari itulah untuk pertama kalinya aku melihat Tommy. Dia sedang
menyisir rambutnya yang terurai sampai sekitar 20 cm dibawah bahunya.
Penilaian singkatku: dia seorang yang aneh ? sangat aneh.

Tommy ternyata menjadi tantanganku yang terberat. Dia terus-menerus
mengajukan keberatan.
Dia juga melecehkan tentang kemungkinan Tuhan mencintai secara tanpa pamrih.

Ketika dia muncul untuk mengikuti ujian di akhir kuliah, dia bertanya dengan
agak sinis, "Menurut Pastor apakah saya akan pernah menemukan Tuhan?"
Tidak," jawabku dengan sungguh-sungguh.

"Oh," sahutnya.

"Rasanya Anda memang tidak pernah mengajarkan bagaimana menemukan Tuhan."
Kubiarkan dia berjalan sampai lima langkah lagi dari pintu, lalu kupanggil.
"Saya rasa kamu tak akan pe rnah menemukan-Nya. Tapi, saya yakin Dialah yang
akan menemukanmu. "

Tommy mengangkat bahu, lalu pergi.

Aku merasa agak kecewa karena dia tidak bisa menangkap maksud kata-kataku.
Kemudian kudengar Tommy sudah lulus, dan saya bersyukur.

Namun kemudian tiba berita yang menyedihkan: Tommy mengidap kanker yang
sudah parah. Sebelum saya sempat mengunjunginya, dia yang lebih dulu menemui
saya. Saat dia melangkah masuk ke kantor saya, tubuhnya sudah menyusut, dan
rambutnya yang panjang sudah rontok karena pengobatan dengan kemoterapi.

Namun, matanya tetap bercahaya dan suaranya, untuk pertama kalinya,
terdengar tegas. "Tommy ! Saya sering memikirkanmu. Katanya kamu sakit
keras?" tanyaku langsung. "Oh ya, saya memang sakit keras. Saya menderita
kanker. Waktu saya hanya tinggal beberapa minggu lagi."

"Kamu mau membicarakan itu?"

"Boleh saja. Apa yang ingin Pastor ketahui?"

"Bagaimana rasanya baru berumur 24 tahun, tapi kemati an sudah menjelang?"
Jawabnya, "Ini lebih baik ketimbang jadi lelaki berumur 50 tahun namun
mengira bahwa minum minuman keras, bermain perempuan, dan memburu harta
adalah hal-hal yang 'utama' dalam hidup ini."

Lalu dia mengatakan mengapa dia menemuiku.
"Sesuatu yang Pastor pernah katakan pada saya pada hari terakhir kuliah
Pastor. Saya bertanya waktu itu apakah saya akan pernah menemukan Tuhan, dan
Pastor mengatakan tidak. Jawaban yang sungguh mengejutkan saya.
Lalu, Pastor mengatakan bahwa Tuhanlah yang akan menemukan saya. Saya sering
memikirkan kata-kata Bapak itu, meskipun pencarian Tuhan yang saya lakukan
pada masa itu tidaklah sungguh-sungguh.
"Tetapi, ketika dokter mengeluarkan segumpal daging dari pangkal paha saya",
Tommy melanjutkan "dan mengatakan bahwa gumpalan itu ganas, saya pun mulai
serius melacak Tuhan.
Dan ketika tumor ganas itu menyebar sampai ke organ-organ vital,saya
benar-benar menggedor-gedor pintu surga.
Tapi tak terjadi apa pun.."

Lalu, saya terbangun di suatu hari, dan saya tidak lagi berusaha keras
mencari-cari pesan itu. Saya menghentikan segala usaha itu. Saya memutuskan
untuk tidak peduli sama sekali pada Tuhan, kehidupan setelah kematian, atau
hal-hal sejenis itu."

"Saya memutuskan untuk melewatkan waktu yang tersisa melakukan hal-hal
penting," lanjut Tommy. "Saya teringat tentang Pastor dan kata-kata Pastor
yang lain: Kesedihan yang paling utama adalah menjalani hidup tanpa
mencintai. Tapi hampir sama sedihnya, meninggalkan dunia ini tanpa
mengatakan pada orang yang saya cintai bahwa kau mencintai mereka.

Jadi saya memulai dengan orang yang tersulit : ayah saya.
Ayah Tommy waktu itu sedang membaca koran saat anaknya menghampirinya.
"Pa, aku ingin bicara." "Bicara saja." "Pa, ini penting sekali."
Korannya turun perlahan 8 cm. " Ada apa?" "Pa, aku cinta Papa. Aku hanya
ingin Papa tahu itu." Tommy tersenyum padaku saat mengenang saat itu.
"Korannya jatuh ke lantai. Lalu ayah saya melakukan dua hal yang seingatku
belum pernah dilakukannya. Ia menangis dan memelukku.
Dan kami mengobrol semalaman, meskipun dia harus bekerja besok paginya."

"Dengan ibu saya dan adik saya lebih mudah," sambung Tommy. "Mereka menangis
bersama saya, dan kami berpelukan, dan berbagi hal yang kami rahasiakan
bertahun-tahun. Saya hanya menyesalkan mengapa saya harus menunggu sekian
lama. Saya berada dalam bayang-bayang kematian, dan saya baru memulai
terbuka pada semua orang yang sebenarnya dekat dengan saya.

"Lalu suatu hari saya berbalik dan Tuhan ada di situ. Ia tidak datang saat
saya memohon pada-Nya. Rupanya Dia bertindak menurut kehendak-Nya dan pada
waktu-Nya. Yang penting adalah Pastor benar. Dia menemukan saya bahkan
setelah saya berhenti mencari-Nya. "

"Tommy," aku tersedak,

"Menurut saya, kata-katamu lebih universal daripada yang kamu sadari.
Kamu menunjukkan bahwa cara terpasti untuk menemukan Tuhan adalah bukan
dengan membuatnya menjadi milik pribadi atau penghiburan instan saat
membutuhkan, melainkan dengan membuka diri pada cinta kasih."

"Tommy," saya menambahkan, "boleh saya minta tolong? Maukah kamu datang ke
kuliah teologi iman dan mengatakan kepada para mahasiswa saya apa yang baru
kamu ceritakan?"

Meskipun kami menjadwalkannya, ia tak berhasil hadir hari itu. Tentu saja,
karena ia harus berpulang. Ia melangkah jauh dari iman ke visi. Ia menemukan
kehidupan yang jauh lebih indah daripada yang pernah dilihat mata
kemanusiaan atau yang pernah dibayangkan.

Sebelum ia meninggal, kami mengobrol terakhir kali.
Saya tak akan mampu hadir di kuliah Bapak," katanya.
"Saya tahu, Tommy."
"Maukah Bapak menceritakannya untuk saya?
Maukah Bapak menceritakannya pada dunia untuk saya?"
"Ya, Tommy. Saya akan melakukannya. "